. Pengertian Pendidikan
Dalam Kehidupan Sosial, Pendidikan ialah orang yang memiliki
tanggung jawab untuk mendidik, sebagaimana juga yang di uraikan oleh wiji suwarno (2009) bahwa
pendidikan ialah orang yang dengan sengaja memengaruhi orang lain untuk
mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi. Sedangkan secara akademis, pendidik
adalah tenaga kepaendidikan, yakni anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan
diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan yang berkualifikasi sebagai
pendidik, dosen, konselo, pamong belajar widyiswara, tutor, instruktur,
fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta
berpatisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Dengan demikian,
dapat juga dikatakan bahwa pendidikan ialah orang yang memengaruhi perkembangan
seseorang. karena pendidikan merupakan proses, pastinya akan banyak orang yang
memengaruhi perkembangan anak didik, namun, tentunya tidak semua orang dapat
dikatakan sebagai pendidik sebab untuk menjadi seorang pendidik perlu memenuhi
persyaratan-persyaratan atau kreteri yang telah ditetapkan
Meskipun tidak muda
dalam memenuhi syarat untuk dapat menjadi seorang pendidik, tetapi apabila
menelaah pengertian pendidik di atas, pengertian pendidik ialah orang yang
memengaruhi perkembangan seseorang ini. Berarti akan ada banyak orang dari
berbagai elemen yang dapat dikatakan sebagai pendidik, dengan demikian, para
orang tua, guru, tokoh masyarakat, aparat pemerintah, bahkan pemimpin negara
pun dapat dikatakan sebagai pendidik.
Ahmad D. Marimba
(1989) menyatakan bahwa secara umum pendidik ialah orang yang memiliki tanggung
jawab untuk mendidik. Pendidik ialah
orang yang memengaruhi perkembangan seseorang, karena pendidikan merupakan
proses, pastinya akan ada banyak oarang yang memengaruhi perkembangan anak
didik. Namun tentunya tidak semua orang dapat dikatakan sebagai pendidik sebab
untuk menjadi seorang pendidik perlu memenuhi persyaratan-persyaratan atau
kreteria yang telah ditentukan.
Meskipun tidak mudah
dalam memenuhi syarat untuk dapat menjadi seorang pendidik, tetapai apabila
menelaah pengertian pendidik di atas pengertian pendidik ialah orang yang
memengaruhi perkembangan seseorang. Ini berarti akan ada banyak orang dari
berbagai elmen yang dapat di katakan sebagai pendidik. Dengan demikian, para
orang tua, guru, tokoh masyarakat, aparat pemerintah, bahkan pemimpin negara
pun dapat dikatakan sebagai pendidik.[1]
Adapun pengertian
pendidik secara umum. Ahmad D. Marimba (1989) menyatakan bahwa secara umum
pendedik ialah orang yang memengaruhi perkembangan seseoreang. Karena
pendidikan merupakan peroses, pastinya akan ada banyak orang yang memengaruhi
perkembangan anak didik. Sebagaimana yang di uraikan Ahmad Tafsir (2008) bahwa di dalam
ilmu pendidikan yang dimaksud pendidikan ialah semua yang memengaruhi
perkembangan seseorang, yaitu manusia, alam, dan kebudayaan. Dari ketiganya
yang paling penting adalah manusia. Manusia sebagai kelompok pendidik banyak macamnya, tetapi yang paling
dikenal dalam ilmu pendidikan ialah orang tua, guru di sekolah,teman
sepermainan, dan tokoh atau figur masyarakat. Di antara pendidik tersebut yang
paling bertanggung jawab adalah orang tua. Orang tua adalah pendidik pertama
dan utama bagi anak.
Allah
menitipkan anak kepada orang tua. Dengan demikia tugas orang tua sejak sebelum
memiliki anak, kemudian mengandung hingga anak dilahirkan memiliki kewajiban untuk menjaga, merawat dan
mendidiknya. Dengan demikian, dalam kluarga anak pertama-tama memperoleh
kemanusiaannya. Dalam kluarga orang tua harus memenuhi pendidikan jasmani anak,
seperti: menjaga kebersihan, mengatur makanan, tidur, dan istirahat. Orang tua
juga perlu mengajarkan jenis-jenis permainan fisik dan keterampilan yang
menggunakan kemampuan fisik. Pendidikan rohani yang di berikan kepada anak
sejak usia dini dengan menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia menjadi tugas yang tidak dapat di serahkan kepada orang lain. Sedangkan
untuk pendidikan akal, orang tua dapat berkolaborasi dengan pendidikan
pendamping atau guru dalam mengupayakan
kecerdasan kognitif anak.
Secara umum
penggunaan kata guru dapat berarti luas, dimasyarakat orang yang mengajarkan
suatu disiplin ilmu selain orang tua disebut juga guru. ada guru di lembaga
pendidikan formal (guru di sekolah). Ada guru di masyarakat (lembaga pendidikan
non formal), seperti orang yang mengajarmaka ngaji maka ia disebut guru mengaji. Ada juga guru yang mengajarkan
silat, ia kemudian disebut guru silat. Ada juga guru yang mengajarkan keahlian
seperti: menyetit, montir, menjahit, memasak, dan masi banyak guru-guru lainya
yang pernah kita dengar.
Menyikapi banyaknya
istilah guru yang ada di masyarakat, Mahmud dan Ija suntana (2011) mengutip
Djamarah (2000) menyatakan bahwa guru dalam pandangan masyarakat pendidikan adalah
orang yang melaksanakan pendidikan di tempat tertentu, bisa di lembaga pendidikan
formal, di masjid, mushala, rumah, dan
sebagainya. Dalam konteks ini guru mendapat arti yang luas. Sebab seperti orang
yang memberikan suatu ilmu atau kepandaian tertentu kepada seseorang atau
sekelompok orang dapat disebut guru. Dengan demikian, di masyarakat
dikenal ada guru sekolah/kelas, guru
mengaji, guru menjahit, guru silat, guru senam, dan lain-lain (purwanto 1998).
Selain di masyarakat
pendidik dikenal dengan arti yang luas, ada juga pemahaman tentang pendidik
dalam arti seperti. Pendidik dalam arti luas adalah manusia; baik itu orang tua
di lembaga pendidikan, aparat pemerintah, tokoh masyarakat atau figur masyarakat. Sementara pendidikan dalam arti
khusus memiliki batasan tertentu yang biasanya disebut guru di sekolah. Hal ini
berhubungan dengan semakin sempitnya pemahaman manusia dewasa ini tentang
pendidikan itu sendiri.
Perkembangan zaman
di era globalisasi kini juga ternyata memengaruhi pengertian dan pemahaman
manusia itu sendiri terhadap pendidikan. Dewasa ini, banyak orang yang
menganggap bahwa pendidikan identik dengan schooling. Tidak heran jika
anggapan terhadap pendidikan pun mengarah pada pemahaman yang khusus (sempit).
Oleh karna itu, banyak yang beranggapan bahwa pendidikan itu adalah guru.
Mengutip rama yules (2013),
di indonesia pendidikan disebut juga
guru, yaitu orang yang diguru dan ditiru. Berdasarkan dari Nawawi, guru adalah
orang-orang yang kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah atau di
kelas. Lebih khususnya diartikel orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan
pengajaran yang ikut bertanggung jawab
dalam membentuk dan membimbing anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing,
baik kedewasaan jasmani maupun rohani. Dalan Undang-Undang republik indonesia
(UURI) nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa
pendidik adalah tenaga kependidik yang berkualifikasi sebagai guru, dosen,
konselo, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan
sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan.
Dalam UURI nomor 14
tahun 2005 tentang guru dan dosen, guru sendiri diartikan sebagai pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan manengah. Sementara
itu, seperti yang dikutip Samsul Nijar (2002), Ahmad Tafsir (1992) menguraikan
bahwa secara khusus pendidikan dalam persepektif pendidikan islam adalah
orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi
peserta didik baik potensi afektif, kognitif maupun psikomotorik sesuai dengan
nilai-nilai ajaran islam. Pendidik di lembaga pendidikan disebut dengan guru,
yang meliputi guru sekolah atau guru madrasah sejak mulai taman kanak-kanak/raudhatul
atfhal (PAUD) hingga sekolah menengah.
Sementaru guru untuk pendidikan tingkat tinggi disebut dosen, dan kiai
merupakan sebuah guru untuk di pesantren.[2]
B. Bagaimana
Cara Mendidik Murid dengan baik
Sebagai individu yang berkecimpung dalam pendidikan, guru harus
memiliki keperibadian yang mencerminkan seorang pendidik. Tuntutan akan
keperibadian sebagai pendidik kadang-kadang dirasakan lebih berat dibanding yang lainya. Ungkapan yang
sering dikemukakan adalah bahwa “guru bisa digugu dan ditiru” digugu maksudnya
bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru bisa dipercaya untuk dilaksanakan dan
pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani. Guru sering dijadikan panutan oleh
masyarakat untuk itu guru harus mengenal nilai-nilai yang di anut dan
berkemdang di masyarakat tempat melkasanakan tugas dan bertempat tinggal.
Secara nasional, nilai-nilai tersebutsudah dirumuskan, tetapi barang kali masih
ada nilai tertentu yang belum terwadahi dan harus dikenal oleh guru, agar dapat
melestarikannya, dan berniat untuk tidak berperilaku yang bertentangan dengan
nilai tersebut sehingga tidak terjadi benturan nilai antara guru dan masyarakat
yang berakibat terganggunya prises pendidikan bagi peserta didik. Untuk
kepentingan tersebut, wawasan nasional mutlak diperlukan dalam pembelajaran.
Ujian berat bagi
guru dalam hal keperibadian ini adalah rangsangan yang memancing emosinya. Kesetabilan emosi amat diperlukan,
namun tidak semua orang mampu menahan emosi terhadap rangsangan yang
menyinggung prasaan, dan memang diakui bahwa tiap orang mempunyai temparamen
yang berbeda dengan orang lain. Untuk keperluan tersebut, upaya dalam bentuk
latihan mental akan sangt berguna. Guru yang mudah marah akan mambuat peserta
didik takut, dan ketakutan mengakibatkan kurangnya minat untuk mengikuti
pembelajaran serta rendahnya konsentrasi, karena ketakutan menimbulkan
kekuatiran untuk dimarahi dan hal ini
membelokan konsentrasi peserta didik.[3]
Kemarahan
guru terungkap dalam kata-kata yang dikeluarkan, dalam raut muka dan mungkin
dengan gerakan-gerakan tertentu, bahkan
ada yang dilahirkan dalam bentuk memberikan hukuman fisik. Sebagai kemarahan
bernilai negatif, dan sebagian lagi bernilai positif. Kemarahan yang berlebihan
seharusnya tidakditampakan, karena menunjukan kelebihan emosi guru. Dilihat
dari penyebabnya sering nampak bahwa kemarahan adalah salah karena ternyata
disebabkan oleh peserta didik yang tidak
mampu memecahkan masalah atau menjawab pertanyaan, padahal dia telah belajar
dengan sungguh-sungguh. Kematangan emosi guru akan berkembang sejalan dengan
pengalamannya. Jadi tidak sekedar jumlah umur atau masa kerjanya saja yang
bertambah, melainkan bertambahnya kemamapuan memecahkan masalah atas dasar
pengalaman masa lalu, sebagai pribadi yang hidup ditengah-tengah masyarakat,
guru perlu juga memiliki kemampuan untuk
berbaur dengan masyarakat melalui kemampuanya, antara lain melalui kegiatan
olah raga, keagamaan dan kepemudaan. Keluasan bergaul harus dimiliki, sebab
kalau tidak pergaulannya akan menjadi kaku dan berakibat yang bersangkutan kurang bisa di terima oleh
masyarakat.
Jika di masyarakat,
guru di amati dan dinilai oelh masyarakat, maka di sekolah diamati oleh peserta
didik, dan oleh teman sejawat serta atasannya. Dalam kesempatan tertentu
sejumlah peserta didik membicarakan
kebajikan gurunya, tetapi dalam situasi yang lain mereka membicarakan
kekurangnnya. Ada baiknya jika guru sering minta pendapat teman sejawat atau
peserta didik tentang penampilannya sehari-hari, baik didalam maupun diluar
kelas, dan segera memanfaatkan pendapat yang telah di terima dalam upaya
mengubah atau memperbaiki penampilan tertentu yang kurang tepat.
Salah satu hal yang
perlu di pahami guru untuk mengepektifkan proses pembelajaran adalah bahwa
semua manusia (peserta didik) dilahirkan dengan rasa ingin tahu yang tak pernah
terpuaskan, dan mereka semua memiliki potensi untu memenuhi rasa ingin tahunya.
Misalkan kita memberikan mainan kepada seorang bayi, perhatikan bagai mana
asyiknya ia memainkan mainannya, menggerak-gerakkan bagian seluruh bagian tubuhnya segabai reaksi terhadap mainan
tersebut, memutar dengan tangan, menggigit atau memasukan mainan tersebut
kemulutnya dan bahkan sekali-kali ia melemparkannya. Kesemuanya itu dilakukan
karna rasa ingin tahunya terhadap mainan.
Belajar dari
pengalaman tersebut, dalam pembelajaranpun kondisinya tidak jauh berbeda,
peserta didik memiliki rasa ingin tahu, dan memiliki potensi untuk memenuhi
rasa ingin tahunya. Oleh karna itu, tugas guru yang paling utama adalah
bagaimana membangkitkan rasa ingin tahu peserta didik agar tumbuh minat dan
motivasinya untuk belajar.
Bertolak dari asumsi bahwa life is education adn education is
life, dalam arti pendidikakan merupakan persoslan hidup dan kehidupan
manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan islam pada dasarnya hendak
mengembangkan pandangan hidup islam, yang diharapkan tercermin dalam sikap
hidup dan keterampilan hidup orang islam. Karena itu, pandangan hidup yang dimanifestasikan
dalam sikap hidup dan keterampilan hidup sesorang harus bisa mendatangkan
berkah, yakni nilai tambahan, kenikmatan, dan kebahagiaan dalam hidup, pendidikan merupakan salah satu upaya untuk
membangun.
C. Bagaimana Cara Menciptakan Pembelajaran untuk
Mendidik Murid
Menjadi guru kreatif, frefosional, dan menyenangkan ditunjukan
untuk memiliki kemampuan mengembangkan pembelajaran untuk mendidik murid dan
memilih metode pembelajaran yang efektif. Hal ini penting terutama menciptakan
iklim pembelajaran yang kondusif dan menyenangkan. Cara guru melakukan suatu kegiatan
pembelajaran mungkin memerlukan pendekatan dan metode yang berbeda dengan
pembelajaran lainnya. Untuk kepentingan tersebut, bab ini menjajikan pendekatan
dan metode pembelajaran yang perlu dipahami guru agar dapat melaksanakan
pembelajaran secara efektif dalam meningkatkan hasil pembelajaran. Sedikitnya
terdapat limu pendekatan pembelajaran yang perlu dipahami guru untuk dapat
mengajar dengan baik, yaitu pendekatan kompetensi, pendekatan keterampilan
proses, pendekatan lingkungan, pendekatan kontekstual, dan pendekatan tematik. Kopetensi
menunjukan kepada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui
pembelajaran dan latihan mulai dari menggosok gigi, sampai dengan melakukan
oprasi jantung. Dalam hubungannya dengan proses pembelajaran, kompetensi
menujuk kepada perbuatan (performance) yang bersifat rasional dan memenuhi
spesifikasi tertentu dalam proses belajar. Dikatakan perbuatan, karena
merupakan prilaku yang dapat diamati meskipun sebenarnya sering kali terlihat
pula proses yang tidak nampak seperti pengambilan keputusan/pilihan sebelunmnya
perbuatan dilakukan. Kay (1977) mengemukakan bahwa “competency based
education, an approach to instruction thataims to teach each student the basic
knawledge, skill, attitudes, and values esential to copetence” Kompetensi selalu dilandasi oleh rasionalitas
yang dilakukan denan penuh kesadaran “mengapa” dan “bagaimana” perbuatan
tersebut dilakukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kompetensi merupakan
indikator yang menunjukan kepada perbuatan yang bisa diamati , dan sebagai
konsep yang mencakup aspek-aspek pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap,
serta tahap-tahap pelaksanaannya secara utuh. Pembentukan kompetensi bersifat
transaksional, bergantung pada kondisi-kondisi dan pihak-pihak yang terlihat
secara aktual. Paling tidak terdapat tiga landasan teoretis yang mendasari
pendidikan berdasarkan pendekatan kompetensi. Pertama, adanya pergeseran dari
pembelajaran klompok kearah pembelajaran individual. Melalui pembeljaran
individual peserta didik diharapkan dapat belajar sendiri, tidak bergantung
pada orang lain. Setiap peserta didik dapat belajar dengan cara dan berdasarkan
kemampuan masing-masing. Hal ini membutuhkan pengaturan kelas yang fleksibel,
baik sarana maupun waktu, karena dimungkinkan peserta didik belajar dengan
kecepatan yang berbeda, penggunaan alat yang berbeda, serta mempelajari bahan
ajar yang berbeda pula. Kedua, pengembamgan konsep belajar pintas (mastery learning)
atau belajar sebagai penguasan (learning for mastery) adalah suatu
falsafah tentang pembelajaran yang mengatakan bahwa dengan sisitem pembelajaran
yang tepat semua peserta didik akan dapat belajar dengan hasil yang baik dari
seluruh bahan yang diberikan. Bloom dalam Hall (1986) menyatakan bahwa
“sebagian besar peserta didik dapat menguasai apa yang diajarkan kepadanya, dan
tugas pembelajaran adalah mengkondisikan lingkungan belajar yang memungkinkan
peserta didik menguasai materi pembelajaran yang diberikan,”landaras teoretis
ketiga lagi perkembangan pendidikan berdasarkan kompetensi adalah usaha
penyusunan kembali devinisi kembali bakat. Dalam kaitan ini Carrol dalam Hall
(1986) menyatakan bahwa dengan waktu yang cukup semua peserta didik dapat mencapai
penguasaan suatu tugas belajar. Jika asumsi tersebut diterima, perhatian harus
dicurahkan kepada waktu yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas belajar.
Implikasi terhadap
pembelajaran adalah sdebagai berikut. Pertama, pembelajaran perlu lebih
menekankan pada pembelajaran individual meskipun dilaksanakan secara klasikal,
dalam pembelajaran perlu diperhatikan perbedaan peserta didik. Dalam hal ini
misalnya tugas diberikan secara individu, bukan secara klompok. Kedua,
perlu diupayakan lingkungan belajar yang kondusif, dengan metode dan media yang
bervareasi yang memungkinkan setiap peserta didik mengikuti kegiatan belajar
dengan tenang dan menyenangkan. Ketiga, dalam pembelajaran perlu
diberikan waktu yang cukup, terutama dalam menyelesaikan tugas/praktek
pembelajaran agar setiap peserta didik dapat mengerjakan tugas belajar dengan
baik. Apabila waktu yang tersedia disekola tidak mencukupi, berilah kebebasan
kepada peserta didik untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan diluar
kelas. Dalam kaitannya dengan pengembangan pembelajaran berdasarkan pendekatan
kompetensi, Ashan (1981) mengemukakan tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu menetapkan
kompetensi yang ingin dicapai, mengembangkan strategi untuk mencapai
kompetensi, dan evaluasi.
Kompetensi yang
ingin dicapai merupakan pertanyaan tujuan (goal statement) yang hendak
diperoleh peserta didik serta menggambarkan hasil belajar (learning
outcomes) pada aspek pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Strategi
mencapai kompetensi (the enabling strategy), merupakan strategi untuk
membantu peserta didik dalam menguasai kompetensi yang ditetapkan. Untuk itu
dapat dibuat sejumlah alternatif kegiatan, misalnya membaca, mendengarkan,
berkreasi, berinteraksi, observasi, dan sebagainya sampai terbentuk suatu
kompetensi.
Evaluasi dilakukan
untuk menggambar prilaku hasil belajar (behavioral outcomes) dengan
respon peserta didik yang dapat diberikan berdasarkan apa yang diperoleh dari
belajar. Sejalan dengan uraian diatas Sukmadinata (1983) mengemukan tiga tahap
yang dilakukan guru dalam proses pembelajaran yakni perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi pembelajaran.
Berdasarkan uraian
diatas pembelajaran dengan pendekatan kompetensi dapat dilakukan dengan
langkah-langkah umum sebagai berikut.[4]
a. Tahap
perencanaan
Dalam tahap perencanaan pertama-tama perlu ditetapkan
kompetensi-kompetensi yang akan diwujudkan dalam kegiatan pembelajaran
berdasarkan kompetensi-kompetensi tersebut selanjunya dikembangkan tema,
subtema, dan topik-topik mata pembelajaran yang akan diajarkan. Pendekatan
kompetensi yang mendasari konsep kesepadaan teori dan praktek sering menggunakan
modul sebagai sistem pembelajaran. Modul merupakan suatu unit yang lengkap yang
berdiri sendiri dan terdiri atas suatu rangkaian kegiatan belajar yang disusun
untuk membantu peserta didik mencapai jumlah tujuan yang dirumuskan secara
jelas.
Mengingat kondisi guru-guru di indonesia sangat beraneka ragam,
baik berkaitan dengan kemampuan maupun latar belakang pendidikan, dalam
pengembangan materi pembelajaran, khususnya dalam persiapan pembelajaran,
disarankan minimal meliputi tiga hal, yakni tujuan yang ingin dicapai, materi
yang dipelajari, dan sejumlah pertanyaan untuk menilai kemampuan belajar
peserta didik.
b. Pelaksanaan
pembelajaran
Pelaksanaan
pembelajaran merupakan langkah merealisasikan konsep pembelajaran dalam bentuk
perbuatan. Dalam pendidikan berdasarkan kompetensi pelaksanaan pembelajaran
merupakan suatu rangkaian pembelajaran yang dilakukan secara berkesinambungan,
yang meliputi tahap persiapan penyajian, aplikasi, dan penilaian. Tahap
persiapan merupakan tahap guru mempersispkan segala sesuatu yang berkaitan
dengan pembelajaran. Hal-hal yang termasuk dalam tahap ini adalah mempersiapkan
ruang belajar, alat dan bahan, dan sumber belajar, serta mengkondisikan
lingkungan belajar sedemikian rupa sehingga peserta didik siap belajar. Tahap
penyajian merupakan tahap guru menyajikan informasi, menjelaskan cara kerja
baik keseluruhan proses maupun masing-masing gerakan yang dilakukan dengan cara
demonstrasi.
Tahap aplikasi atau praktek
ialah tahap peserta didik diberi kesempatan melakukan sendiri kegiatan belajar
yang ditugaskan. Kegiatan guru lebih terkonsentrasi kepada pengawasan dan
pemberian bantuan secara perseorangan maupun kelompok.
Tahap penilaian ialah tahap
guru memeriksa hasil kerja dengan menyertakan peserta didik untuk menilai kualitas
kerja serta waktu yang dipergunakan dalam penyelesaian pekerjaan tersebut.
c. Evaluasi dan
penyempurnaan
Evaluasi dan penyempurnaan
perlu dilakukan sebagai suatu proses yang kontinu untuk memperbaiki
pembelajaran dan membimbing pertumbuhan peserta didik. Dalam kaitannya dengan
pembelejaran berdasarkan pendekatan kompetensi, evaluasi dilakukan untuk
menggambarkan perilaku hasil belajar (behavioral outcomes) dengan respon
peserta didik yang dapat diberikan berdasarkan apa yang diperoleh dari
belajar.evaluasi dan behavioral outcomes ini mengandung nilai-nilai yang
dapat digunakan untuk menentukan kualitas atau derajat pencapaian competensi
yang ditetapkan
D. Sistem Belajar Mengajar Murid.
Dalam kegiatan belaja mengajar, tugas guru adalah meberikan kemudahan
belajar melalui bimbingan dan motivasi untuk mencapai tujuan. Kegiatan-kegiatan
yang dapat dilakukan untuk mendorong aktivitas dan kretivitas peserta didik
dalam pembelajaran antara lain: diskusi, pengamatan, penelitian, peraktikum dan
kegiatan-kegiatan lain yang dapat menunjukan tercapainya tujuan pembelajaran
Mengajar dalam
konteks standar proses pendidikan tidak hanya sekedar menyampaikam materi
pelajaran, akan tetapi juga dimaknai sebagai proses mengatur lingkungan supaya
siswa belajar. Makna lain mengajar yang demikian sering diistilahkan dengan pembelajaran.
Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam proses belajar mengajar siswa harus
dijadikan sebagai pusat dari kegiatan.
Hal ini dimaksudkan untuk membentuk watak, peradaban, dan meningkatkan mutu
kehidupan peserta didik. Pembelajaran perlu memberdayakan semua potensi peserta
didik untuk menguasai kompetensi yang diharapkan. Pemberdayakan diarahkan untuk
mendorang pencapaian kompetensi dan perilaku khusus supaya setia individu mampu
menjadi pembelajar sepanjang hayat dan mewujudkan masyarakat belajar.
Dalam
implementasinya, walaupun istilah yang digunakan “pembelajaran”, tidak berarti
guru harus menghilangkan perannya sebagai pengajar, sebab scara konseptual pada
dasarnya dalam istilah mengajar itu juga bermakna membelajarkan siswa. Mangajar
belajar adalah dua istilah yang memiliki satu makna yang tidak dapat
dipisahkan. Mengajar adalah suatu aktivitas yang dapat membuat sisiwa belajar.
Keterkaitan antara mengajar dan belajar diistilahkan Dewey sebagai “menjual dan
membeli” –Teaching is to Learning as lelling is to Buying. Artinya,
seseorang tidak mungkin akan menjual manakala tidak ada orang yang membeli,
yang berarti tak akan ada perbuatan mengajar manakala tidak membuat seseorang
belajar. Dengan demikian, dalam istilah mengajar juga terkandung proses belajar
siswa. Inilah makna pembelajaran. Dalam konteks pembelajaran, sama sekali tidak
berarti memperbeser peranan siswa disatu pihak dan memperkecil peranan guru
dipihak lain. Dalam istilsh pembelajaran, guru tetap harus berperan secara optimal, demikian juga halnya dengan
siswa. Perbedaan dominasi dan aktivitas
di atas, hanya menunjukan kepada perbedaan tugas-tugas atau perlakuan guru dan
sisiwa terhadap materi dan proses pembelajaran. Sebagai contoh, ketika guru
menentukan proses belajar mengajar dengan menggunakan metode buzz group (contohnya
dengan ceramah) dalam pembelajaran, tidak berarti peran siswa menjadi semakin
kecil. Mereka harus tetap berperan secara optimal dalam rangka menguasai dan
memahami materi pelajar yang disampaikan oleh guru.[5]
Dari urayan itu,
maka tampak jelas bahwa istilah “pembelajaran” (instruction) itu menujukan pada
usaha siswa mempelajari bahan pelajaran sebagai akibat perlakuan guru. Disini
jelas, proses pembelajaran yang dilakukan siswa tidak mungkin terjadi tanpa
perlakuan guru. Yang membedakannya hanya terletak pada peranannya saja. Bruce
weil (1980) mengemukakan tiga perinsip penting dalam proses pembelajaran
semacam ini. Pertama, proses
pembelajaran adalah membentuk kreasi lingkungan yang dapat membentuk atau
mengubah struktur kognitif siswa. Tujuan pengaturan lingkungan ini dimaksudkan
untuk menyediakan pengalaman belajar yang memberi latihan-latihan penggunaan
fakta-fakta. Menurut piaget, struktur kognitif akan tumbuh manakala siswa
memiliki pengalaman belajar. Oleh karena itu, proses pembelajaran menurut
aktifitas siswa secara penuh untuk mencari dan menemukan sendiri.
Kedua berhubungan
dengan tipe-tipe pengetahuan yang harus dipelajari. Ada tiga tipe pengetahuan
yang masing-masing memerlukan situasi yang berbeda dalam mempelajarinya.
Pengetahuan tersebut adalah pengetahuan fisis, sosial, dan logika. Pengetahuan
fisis adalah pengetahuan akan sifat-sifat fisis dari suatu objek atau kejadian
seperti bentuk, besar, berat, serta bagaimana objek itu berintraksi satu dengan
yang lain-lainnya. Pengetahuan fisis diperoleh melalui pengalaman indra secara
langsung. Misalkan anak memegang kain sutra yang terasa halus, atau memegang
logam yang bersifat, dan lain sebagainya. Dari tindakan-tindakan langsung
itulah anak membentuk struktur kognitif tentang sutra dan logam.
Pengetahuan sosial berhubungan dengan perilaku individu dalam suatu
sistem sosial atau hubungan antara manusia yang dapat memengaruhi intraksi
sosial. Contoh pengetahuan tentang aturan hukum, moral, nilai, bahasa, dan lain
sebagainya. Pengetahuan tentang hal diatas muncul dalam budaya tertentu,
sehingga dapat berbeda antara kelompok yang satu dengan yang lain. Pengetahuan
sosial tidak dapat dibentuk dari suatu tindakan seseorang dengan orang lain.
Ketika anak melakukan intraksi dengan temannya, maka kesempatan untuk membangun
pengetahuan sosial dapat berkembang.
Pengetahuan logika
berhubungan dengan berpikir matematis, yaitu pengetahuan-pengetahuan yang
dibentuk berdasarkan pengalaman dengan suatu objek dengan kejadian tertentu.
Pengetahuan ini didapatkan dari abstraksi berdasarkan koordinasi relasi atau
penggunaan objek. Penggunaan logis hanya akan berkembang mana kala anak
berhubungan dan bertindak dengan suatu objek, walaupun objek yang dipelajarinya
tidak memberikan informasi atau tidak menciptakan pengetahuan matematis.
Pengetahuan ini diciptakan dan di bentuk oleh pikiran individu itu sendiri,
sebagai objek yang di pelajarinya hanya bertindak sebagai media saja. Misalkan
pengetahuan tentang bilangan, anak dapat bermain himpunan kelereng atau apa
saja yang dapat dikondisikan. Dalam konteks ini anak tidak mempelajari kelereng
sebagai sumber pengetahuan, akan tetapi kelereng merupakan alat untuk memahami
bilangan matematis. Jenis-jenis pengetahuan itu memiliki karakteristik
tersendiri, oleh karena itu pengalaman pelajar yang harus dimiliki oleh siswa
mestinya berbeda.
Ketiga, dalam
proses pembelajaran harus melibatkan peran lingkingan sosial. Anak akan lebih
baik mempelajari pengetahuan logika dan sosial dari temannya sendiri. Melalui
pergaulan dan hubungan sosial, anak akan belajar efektif dibandingkan dengan belajar
yang menjauhkan diri dari hubungan sosial. Oleh karena itu melalui hubungan
sosial itulah anak berintraksi dan berkomunikasi berbagi pengalaman dan lain
sebaginya, yang memungkinkan mereka berkembang secara wajar.
Selama menjalani proses kehidupannya, dari mulai lahir sampai
dengan akhir hayatnya manusia tidak akan terlepas dari proses atau masalah.
Selama kehidupannya manusia memiliki tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut
manusia akan dihadapan pada berbagai rintangan. Manakala ia berhasil mencapai
rintangan itu, selanjutnya ia akan dihadapakan pada tujuan baru yang semakin
berat, manakala ia berhasil mengatasi rintangan itu maka akan segera akan
muncul tujuan yang lain, demikian kehidupan manusia. Manusia yang berkualitas
dan sukses, adalah manusia yang mampu menembus setiap tantangan yang muncul.
Dan manusia gagal adalah manusia yang tidak mampu mengatasi setiap hambatan
sehinga ia akan tergusur oleh perubahan jaman yang sangat cepat berubah.
Atas dasar urayan diatas maka proses
pembelajaran harus diarahkan agar siswa mampu mengatsi setiap tantangan dan
rintangan dalam kehidupan yang cepat berubah, melalui sejumlah kompetensi
okupasional, kompetensi kultural, dan kompetensi temporal. Itulah sebabnya,
makna belajar bukan hanya mendorong anak agar mampu menguasai sejumlah materi
pelajaran, tetapi bagaimana agar anak itu memiliki sejumlah kompetensi untuk
mampu menghadapi rintangan yang muncul sesuai dengan perubahan pola kehidupan
masyarakat. Belajar adalah proses berfikir. Belajar berfikir menekankan kepada
proses mencari dan menemukan pengetahuan melalui intraksi antara individu
dengan lingkungan. Dalam pembelajaran berfikir proses pendidikan di sekolah
tidak hanya menekankan kepada akumulasi pengetahuan materi pelajar tetapi yang
di utamakan kemampuan siswa untuk memperoleh pengetahuannya sendiri (self
regulated). Asumsi yang mendasari pembelajaran berfikir adalah bahwa
pengetahuan itu tidak datang dari luar, akan tetapi di bentuk oleh individu itu
sendiri dalam struktur kognitif yang di milikinya atas dasar asumsi itulah
pembelajaran berfikir. Memandang bahwa mengajar itu bukanlah memindahkan
pengetahuan dari guru pada siswa, melainkan suatu aktifitas yang memungkinkan
siswa dapat membangun sendiri pengetahuan. Menurut bettencourt (1985) mengajar
dalam pembelajaran berfikir adalah berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk
pengetahuan, membuat makna, mencari
kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justiftasi.
s
[1] Helmawati, pendidik
sebagai modal, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), h.19
[2] Helmawati, pendidik
sebagai modal, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), h.21
[3] Mulyasa, Menjadi Guru
Profesional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), h. 161
[4] Mulyasa, Menjadi Guru
Profesional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), h. 95