. Pengertian Perceraian
Kata “cerai”
mungkin tidak pelu terlalu didefinisikan bila tujuannya hanya untuk mengetahui
makna harfiyyahnya. Tapi akan sangat perlu diuraikan, bila yang diinginkan
adalah mengenal hakikat perceraian dan seribu misteri yang ada di baliknya.
Kata cerai,
dalam bahasa Arabnya disebut Thalaaq. Secara bahasa artinya adalah israal
(melepas). Definisi Thalaaq atau bercerai adalah sebagai berikut:
“Memutus hubungan pernikahan melalui lafal Thalaaq dan sejenisnya.
Imam An-Nawawi
dalam At-Tahdzieb menjelaskan, “Thalaaq atau bercerai artinya tindakan
suami secara mandiri dengan atau tanpa sebab, yang menyebabkan putusnya
pernikahan,”
“Perpisahan
antara suami dengan istri dari hubungan kesuamiistrian melalui media kata-kata,
tulisan atau isyarat.”
Imam Ibrahim
menyatakan, “Orang yang bisu, bisa menceraikan istrinya dengan tulisan tangan.”
Hammad
menyatakan, “Orang bisu dan tuli, bisa memuruskan cerai dengan isyarat
kepalanya.”
Kata Ath-thalaaq
sendiri dalam bahasa Arab bisa berarti ungkapan atau kata-kata yang menunjukan
makna bercerai. Bukan perbuatan cerai itu sendiri, tapi kata-kata yang
digunakan saat memutuskan perceraian. Demikian dijelaskan dalam Badaa-‘us
Shanaa.”
Asal dari hukum
bercerai itu sendiri adalah DILARANG. Karena bercerai artinya memutus hubungan
yang sudah diikat dengan nama Allah, dan dilakaukan demi mencari keridhaan
Allah. Bercerai berarti memutus tali pernikahan yang di sunnahkan. Oleh sebab
itu dilarang. Demikian dijelaskan oleh para ulama fiqih berbagai madzhab.[1]
Meski
perceraian adalah sebuah keniscayaan, baik dan buruknya perceraian adalah
bergantung pada bagaimana perceraian itu terjadi, bagaimana ia dilakukan, tapi
tetap saja, perceraian adalah akhir perjalanan yang menyakitkan. Bila ia
tergolong hal yang dimubahkan dalam satu kondisi, atau dianjurkan sekalipun
dalam kondisi lain tetap aja ada perseteruan antara maslahat dengan mudharat.
Antara adanya kebaikan dan adanya efek keburukan.
Dalam Hadis disebutkan :
أَبْغَضُ
الحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَي الطَّلَاقُ
“Perbuatan halal yang paling dibenci oleh
Allah adalah talak”.
Dalam riwayat
lain disebutkan, “Tidak ada perbuatan yang dihalalkan Allah yang lalu lebih
dibencinya daripada talak”.
Tidak di ragukan lagi, bahwa akibat
yang ditimbulkan oleh perceraian pasti memuat keburukan bagi individu yang
bersangkutan maupun bagi masyarakat. Betapapun substansi dari perceraian itu,
Dalam satu kondisi atau situasi, bisa jadi merupakan alternatif terbaik.[2]
B. Penyebab Perceraian
1. Faktor Penyebab Perceraian Dari Pihak Suami
Perceraian bisa terjadi karena apapun , dan akibat ulah siapapun. Karena
elemen rumah tangga beragam dan karena suami juga bagian dari keragaman
tersebut, maka suami juga sering kali menjadi trigger terjadinya
perceraian. Semua itu bisa terjadi karena kesengajaan atau ketidaksengajaan,
bisa karena satu atau dua kejadian, bisa juga akumulasi dari kejadian-kejadian
serupa, atau bisa jadi karena berbagai alasan yang bertumpuk menjadi satu.
Dengan demikian, selain bercerai terjadi akibat kekeliruan seorang suami
semata, bisa jadi karena kekeliruan berbagai pihak yang bertemu pada satu titik
rawan yang mengiring ke arah perceraian. Disini kita akan mencermati berbagai
sikap dan hal yang ada pada diri suami yang berpotensi menjadi pemicu
terjadinya perceraian pada banyak rumah tangga muslim.
a. Miskin Cinta Kasih
Cinta menjadi faktor utama yang berperan besar menciptakan keutuhan rumah
tangga. Sinyal pertama dibutuhkannya cinta kasih dalam berumah tangga sudah
disebutkan dalam sebuah hadis, berkaitan dengan sebuah tugas yang harus
dilakukan saat seorang lelaki berniat meminang seorang muslimah.
Nabi SAW bersabda:
فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا
فَلْيَفْعَلْ
“kalau seorang lelaki berkesempatan untuk melihat pada diri wanita itu
sesuatu yang mendorongmu untuk mau menikahinya, hendaknya ia melakukannya.”
Ibnu Hajar menjelaskan, “Mayoritas ulama berpendapat
bahwa seorang muslim boleh melihat wanita yang hendak dipinangnya.”
Meski para ulama berbeda pendapat tentang batasan yang boleh dilihat, namun
melihat wanita yang hendak dipinang adalah sebuah tuntunan dalam ajaran
As-Sunnah. Tapi, bukan disini kesempatan mengulas persoalan tersebut.
b. Kurang Perhatian
Yang dimaksud disini, kurangnya perhatian seorang suami terhadap hak-hak
isteri yang telah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Atau kurangnya perhatian
suami terhadap keinginan-keinginan lumrah dari seorang wanita yang masih
diperbolehkan dalam islam, sementara suami masih sangat mampu memenuhinya.
Faktor penyebabnya bisa jadi karena ketidak tahuan, kelainan, atau akibat sang
suami secara sengaja melakukan pelanggaran terhadap atauran Allah. Mungkin
karena dia memang ahli maksiat. Mungkin karena desakan lingkungan. Mungkin
karena pengaruh keluarga, atau bisa jadi karena kesibukan yang menhimpit
hidupnya. Penyebab lain, mungkin juga wanita lain yang menggoda pikirannya,
berbagai maksiat yang setiap hari digeluti sehingga membuat pikiran gelap, lalu
lupa memperhatikan orang terdekatnya.
c. Kurang Persiapan
Artinya, kurang persiapan dalam menghadapi pernikahan. Kurang persiapan
disini bisa dalam wujud pesiapan fisik dan mental, atau yang lebih penting
lagi, persiapan dalam ilmu tentang adab-adab pernikahan aerta seluk-beluk hidup
berumah tangga.
2. Faktor Penyebab Perceraian dari Pihak
Isteri
Selain suami, seorang isteri juga sering kali menjadi sebab terjadinya
perceraian dalam rumah tangga. Bahkan tidak mustahil, kebanyakan kasus
perceraian terjadi akhir-akhir ini lebih banyak disebabkan oleh ‘kaum
wanita’nya. Karena secara fitrah, wanita memang diciptakan sebagai cobaan bagi
kaum lelaki. Sebagian godaan, wajar bila akhirnya seorang wanita sering menjadi
penentu, apakan seorang suami akan mudah mengurangi kehidupan rumah tangganya,
karena seorang istri mampu meminimalisir level godaan dalam dirinya-, atau
justru akan menjalani kehidupan rumah tangganya tak ubahnya Neraka dunia.
Berikut beberapa faktor penyebab terjadinya perceraian yang bisa bermula
dari sosok seorang isteri.
a. Benci Suami
Cinta adalah sebuah tonggak aksi. Amal ibadah
kepada Allah saja tidak akan bisa dilaksanakan tanpa rasa cinta. Sebaliknya,
kebencian adalah faktor utama yang menghambat amalan apapun. Oleh sebab itu,
setiap mukmin diperintahkan melaksanakan ajaran Islam meskipun dirasa berat,
agar terbiasa dan timbul rasa cintanya terhadap amalan tersebut.
b. Kedurhakaan Isteri
Sikap durhaka seorang isteri, tentu saja menjadi salah satu dari faktor
utama terjadinya banyak perceraian. Laki-laki manapun, baik seorang muslim atau
bahkan orang kafir sekalipun, secara naluiah tidak akan menyukai seorang isteri
yang gemar membangkang, atau sering secara sengaja tidak mematuhi perintah
suami. Sikap bandel seorang isteri seperti itu, meskipun dia cantik, pintar,
dan hebat reputasi semasa hidupnya, lambat laun pasti akan memupus rasa cinta
diantara mereka. Suami yang sebelumnya tergila-gila sekalipun pada segala
kelebihan dan keistimewaan, tak akan mungkin bisa mempertahankan cinta kasih
dalam hatinya, terhadap isteri yang terus menerus bersikap demikian.[3]
C. Pengertian
Pendidikan
1. Pendidikan Dalam islam
Pengertian pendidikan dalam bahasa (lughawy) yaitu berasal dari kata kerja rababa,
dan untuk kata rabb yaitu sebutan bagi tuhan, raja atau yang di patuhi
dan perbaikan dari kata tarbiyah merupakan pendidikan terambil dari arti
yang ketiga yaitu perbaikan.
Definisi tarbiyah (pendidikan)
menurut istilah merupakan membina atau menciptakan insan muslim yang mempunyai
akhlak baik dan sempurna dari segala aspek yang berbeda-beda, baik dari aspek
kesehatan, akal, akidah, ruh keyakinan dan manajemen.
Makna yang sebenarnya dari pendidikan atau tarbiyah ialah merupai cara
kerja seorang petani yang berusaha menghilangkan duri dan mengeluarkan
tumbuhan-tumbuhan liar yang terdapat diantara tanaman-tanamannya. Agar tanaman
yang ditanam tersebut dapat tumbuh dengan sempurna dan memberikan hasil yang
terbaik.
2. Peranan Dalam Pendidikan
Para ulama mengatakan bahwa seorang anak merupakan amanat bagi kedua orang
tuanya. Kalbu seorang anak yang baru dilahirkan masihlah suci seperti permata
yang begitu polos, bebas dari segala macam pahatan dan gambaran serta siap
untuk menerima setiap pahatan apapun dan selalu cenderung pada kebiasaan yang
di berikan kepadanya.
Apabila dibiasakan untuk melakukan kebaikan, niscaya akan tumbuh menjadi
orang yang lebih baik, dan kedua orang tuanya akan mendapatkan kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Sebaliknya, apabila sang anak dibiasakan melakukan hal-hal yang buruk dan
di telantarkan tanpa pendidikan dan pengajaran, niscaya akan menjadi seorang
yang celaka dan binasa. Apabila sudah demikian kejadiannya, pihak yang patut
dipersalahkan dalam hal ini adalah orang-orang yang diberikan tanggng jawab untuk
mendidik dan mengajarinya, baik dia orang tua si anak ataupun walinya.
Terdapat banyak ayat-ayat dan hadits-hadits yang menerangkan mengenai
kemuliaan pendidikan terhadap anak, diantaranya Firman Allah SWT yang artinya
sebagai berikut:
“Wahai sekalian orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga
kalian dari api neraka, yang kayu bakarnya terbuat darimanusia dan batu,
didalamnya terdapat malaikat yang sangat keras dan bengismereka tidak
mendurhakai Allah SWT terhadap apa yang sudah diperintahkan kepada mereka dan
mereka melakukan apa yang sudah diperintahkan kepadanya.”
Imam Qatadah rahimahullah mengatakan:
“Mereka taat kepada Allah SWT, dan tidak berbuat maksiat kepada Allah SWT.
Mereka melaksanakan perintah dan mereka memerintahkannya kemudian mereka
menjauhi larangan-Nya.”
Ibnu Umar RA mengatakan:
“Didklah anak anda karena anda bertanggung jawab mengenai pendidikannya,
didikan apa yang anda sudah berikan untuknya? Ajaran apa yang anda sudah
berikan untuknya?”
3. Ciri-ciri Dalam Pendidikan
Mendidik dan mengajar anak bukanlah hal yang sangat mudah juga bukan
pekerjaan yang dapat dilakukan secara sembarangan. Mendidik dan mengajar anak
sama kedudukannya dengan kebutuhan pokok dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
setiap muslim.
Bahkan mendidik dan mengajar seorang anak adalah tugas yang harus dan mesti
dilakuakan oleh setiap orang tua, karena perintah mengenainya datang dari Allah
SWT.
Seorang pendidik dan pembina yang sukses mempunyai sifat atau ciri-ciri
yang apabila setiap dari sifat tersebut bertambah maka akan bertambah pula
keberhasilan dalam mendidik anak-anak tentunya juga dengan taufik bantuan dari
Allah SWT.
Seorang guru atau pembina bisa berasal dari seorang ayah, ibu, saudara,
saudari, paman, bibi, kakek atau bibi dari pihak ibu dan sebagainya, hal
tersebut tidak dimaksudkan seorang pembina atau pendidik hanya tertumpu pada
seorang tertentu saja, namun akan setiap orang yang berada disekelilingnya juga
harus ikut mengambil alih dalam mendidik dan membina anak-anak tersebut ke jalan
yang benar.
Adapun sifat atau ciri-ciri seorang pendidik atau pembina sangat banyak
yaitu sebagai berikut:
a. Amanah
Amanah (bertanggung jawab) ini mencakup seluruh perintah dan larangan yang
di kandung oleh syari’at baik dalam hal ibadah ataupun interaksi.
Di antara tanda-tanda amanah yaitu seorang pendidik senantiasa menjaga
untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang diperintahkan, dan juga memerintahkan
anak-anak untuk melaksanakan hal tersebut, selalu konsisten dengan syari’at
baik dari segi bentuk luar dan dalam, sehinga menjadi teladan di dalam
keluarganya dan di dalam masyarakatnya. Berhias dengan sifat amanah, di dalah
kehidupannya berakhlak mulia dan baik bagi kerabatnya ataupun kepada orang lain
disetiap waktu dan tempat, akhlak seperti ini sumbernya yaitu senantiasa untuk
menjaga sifat amanah dalam artian yang lebih luas.
b. Kuat
Hal ini adalah bersifat umum baik dari segi fisik, mental dan akal,
kebanyakan orang tua sangat mudah mendidik anak-anak mereka di tahum-tahun
pertama yaitu saat usia anak-anak mereka masih kanak-kanak, hal ini di pribadi
anak-anak mereka.
Namun sedikit dari orang tua tersebut yang senantiasa jiwanya besar dan
kuat dari anak-anak mereka saat mereka sudah tua. Sifat kuat ini sangat di
perlukan oleh kedua orang tua atau yang berperan sebagai pembina atau pendidik.
c. Adil
Seorang pendidik haruslah mempunyai sifat yang adil, yaitu tidak
membeda-bedakan anak, semua anak haruslah diperlakukan sama, dan hal ini di
jelaskan oleh Allah SWT dalam Firman-Nya:
$pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#y‰pkà ÅÝó¡É)ø9$$Î/ (
Ÿwur öNà6¨ZtBÌôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #’n?tã žwr& (#qä9ω÷ès? 4
(#qä9ωôã$# uqèd Ü>tø%r& 3“uqø)G=Ï9 (
(#qà)¨?$#ur ©!$# 4
žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ
“Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, Menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwala kepada Allah,
sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maa’idah :
8)
Para pendidik akan menghadapi kondisi yang beragam berkenaan dengan
anak-anak mereka, baik itu berupa pembagian tugas dan kewajiban. Apabila memang
ada tugas-tugas tertentu yang memerlukan adanya kerja sama di antara anggota
keluarga janganlah bersikap mengistimewakan sebagian dari yang lain, hendaknya
seorang pendidik bersikap adil. Seorang pendidik janganlah membeda-bedakan
seperti lebih mencintai salah seorang dari mereka. Baik karena kedekatan, lebih
mengenal, ataupun karena sebab lainnya. Karena sikap seperti ini dapat
dikategorikan sebagai sikap zhalim yang tidak diridhoi oleh Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar