Jumat, 25 November 2016

pengertian perceraian

. Pengertian Perceraian
            Kata “cerai” mungkin tidak pelu terlalu didefinisikan bila tujuannya hanya untuk mengetahui makna harfiyyahnya. Tapi akan sangat perlu diuraikan, bila yang diinginkan adalah mengenal hakikat perceraian dan seribu misteri yang ada di baliknya.
Kata cerai, dalam bahasa Arabnya disebut Thalaaq. Secara bahasa artinya adalah israal (melepas). Definisi Thalaaq atau bercerai adalah sebagai berikut: “Memutus hubungan pernikahan melalui lafal Thalaaq dan sejenisnya.
Imam An-Nawawi dalam At-Tahdzieb menjelaskan, “Thalaaq atau bercerai artinya tindakan suami secara mandiri dengan atau tanpa sebab, yang menyebabkan putusnya pernikahan,”
“Perpisahan antara suami dengan istri dari hubungan kesuamiistrian melalui media kata-kata, tulisan atau isyarat.”
Imam Ibrahim menyatakan, “Orang yang bisu, bisa menceraikan istrinya dengan tulisan tangan.”
Hammad menyatakan, “Orang bisu dan tuli, bisa memuruskan cerai dengan isyarat kepalanya.”
Kata Ath-thalaaq sendiri dalam bahasa Arab bisa berarti ungkapan atau kata-kata yang menunjukan makna bercerai. Bukan perbuatan cerai itu sendiri, tapi kata-kata yang digunakan saat memutuskan perceraian. Demikian dijelaskan dalam Badaa-‘us Shanaa.”
Asal dari hukum bercerai itu sendiri adalah DILARANG. Karena bercerai artinya memutus hubungan yang sudah diikat dengan nama Allah, dan dilakaukan demi mencari keridhaan Allah. Bercerai berarti memutus tali pernikahan yang di sunnahkan. Oleh sebab itu dilarang. Demikian dijelaskan oleh para ulama fiqih berbagai madzhab.[1]
Meski perceraian adalah sebuah keniscayaan, baik dan buruknya perceraian adalah bergantung pada bagaimana perceraian itu terjadi, bagaimana ia dilakukan, tapi tetap saja, perceraian adalah akhir perjalanan yang menyakitkan. Bila ia tergolong hal yang dimubahkan dalam satu kondisi, atau dianjurkan sekalipun dalam kondisi lain tetap aja ada perseteruan antara maslahat dengan mudharat. Antara adanya kebaikan dan adanya efek keburukan.
Dalam Hadis disebutkan :
أَبْغَضُ الحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَي الطَّلَاقُ
 “Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak”.
Dalam riwayat lain disebutkan, “Tidak ada perbuatan yang dihalalkan Allah yang lalu lebih dibencinya daripada talak”.
Tidak di ragukan lagi, bahwa akibat yang ditimbulkan oleh perceraian pasti memuat keburukan bagi individu yang bersangkutan maupun bagi masyarakat. Betapapun substansi dari perceraian itu, Dalam satu kondisi atau situasi, bisa jadi merupakan alternatif terbaik.[2]
B. Penyebab Perceraian
1. Faktor Penyebab Perceraian Dari Pihak Suami
Perceraian bisa terjadi karena apapun , dan akibat ulah siapapun. Karena elemen rumah tangga beragam dan karena suami juga bagian dari keragaman tersebut, maka suami juga sering kali menjadi trigger terjadinya perceraian. Semua itu bisa terjadi karena kesengajaan atau ketidaksengajaan, bisa karena satu atau dua kejadian, bisa juga akumulasi dari kejadian-kejadian serupa, atau bisa jadi karena berbagai alasan yang bertumpuk menjadi satu. Dengan demikian, selain bercerai terjadi akibat kekeliruan seorang suami semata, bisa jadi karena kekeliruan berbagai pihak yang bertemu pada satu titik rawan yang mengiring ke arah perceraian. Disini kita akan mencermati berbagai sikap dan hal yang ada pada diri suami yang berpotensi menjadi pemicu terjadinya perceraian pada banyak rumah tangga muslim.


a. Miskin Cinta Kasih
Cinta menjadi faktor utama yang berperan besar menciptakan keutuhan rumah tangga. Sinyal pertama dibutuhkannya cinta kasih dalam berumah tangga sudah disebutkan dalam sebuah hadis, berkaitan dengan sebuah tugas yang harus dilakukan saat seorang lelaki berniat meminang seorang muslimah.
Nabi SAW bersabda:
فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ              
“kalau seorang lelaki berkesempatan untuk melihat pada diri wanita itu sesuatu yang mendorongmu untuk mau menikahinya, hendaknya ia melakukannya.”
 Ibnu Hajar menjelaskan, “Mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang muslim boleh melihat wanita yang hendak dipinangnya.”
Meski para ulama berbeda pendapat tentang batasan yang boleh dilihat, namun melihat wanita yang hendak dipinang adalah sebuah tuntunan dalam ajaran As-Sunnah. Tapi, bukan disini kesempatan mengulas persoalan tersebut.
b. Kurang Perhatian
Yang dimaksud disini, kurangnya perhatian seorang suami terhadap hak-hak isteri yang telah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Atau kurangnya perhatian suami terhadap keinginan-keinginan lumrah dari seorang wanita yang masih diperbolehkan dalam islam, sementara suami masih sangat mampu memenuhinya. Faktor penyebabnya bisa jadi karena ketidak tahuan, kelainan, atau akibat sang suami secara sengaja melakukan pelanggaran terhadap atauran Allah. Mungkin karena dia memang ahli maksiat. Mungkin karena desakan lingkungan. Mungkin karena pengaruh keluarga, atau bisa jadi karena kesibukan yang menhimpit hidupnya. Penyebab lain, mungkin juga wanita lain yang menggoda pikirannya, berbagai maksiat yang setiap hari digeluti sehingga membuat pikiran gelap, lalu lupa memperhatikan orang terdekatnya.
c. Kurang Persiapan
Artinya, kurang persiapan dalam menghadapi pernikahan. Kurang persiapan disini bisa dalam wujud pesiapan fisik dan mental, atau yang lebih penting lagi, persiapan dalam ilmu tentang adab-adab pernikahan aerta seluk-beluk hidup berumah tangga.
2. Faktor Penyebab Perceraian dari Pihak Isteri
Selain suami, seorang isteri juga sering kali menjadi sebab terjadinya perceraian dalam rumah tangga. Bahkan tidak mustahil, kebanyakan kasus perceraian terjadi akhir-akhir ini lebih banyak disebabkan oleh ‘kaum wanita’nya. Karena secara fitrah, wanita memang diciptakan sebagai cobaan bagi kaum lelaki. Sebagian godaan, wajar bila akhirnya seorang wanita sering menjadi penentu, apakan seorang suami akan mudah mengurangi kehidupan rumah tangganya, karena seorang istri mampu meminimalisir level godaan dalam dirinya-, atau justru akan menjalani kehidupan rumah tangganya tak ubahnya Neraka dunia.
Berikut beberapa faktor penyebab terjadinya perceraian yang bisa bermula dari sosok seorang isteri.
a. Benci Suami
Cinta adalah sebuah tonggak aksi. Amal ibadah kepada Allah saja tidak akan bisa dilaksanakan tanpa rasa cinta. Sebaliknya, kebencian adalah faktor utama yang menghambat amalan apapun. Oleh sebab itu, setiap mukmin diperintahkan melaksanakan ajaran Islam meskipun dirasa berat, agar terbiasa dan timbul rasa cintanya terhadap amalan tersebut.
b. Kedurhakaan Isteri
Sikap durhaka seorang isteri, tentu saja menjadi salah satu dari faktor utama terjadinya banyak perceraian. Laki-laki manapun, baik seorang muslim atau bahkan orang kafir sekalipun, secara naluiah tidak akan menyukai seorang isteri yang gemar membangkang, atau sering secara sengaja tidak mematuhi perintah suami. Sikap bandel seorang isteri seperti itu, meskipun dia cantik, pintar, dan hebat reputasi semasa hidupnya, lambat laun pasti akan memupus rasa cinta diantara mereka. Suami yang sebelumnya tergila-gila sekalipun pada segala kelebihan dan keistimewaan, tak akan mungkin bisa mempertahankan cinta kasih dalam hatinya, terhadap isteri yang terus menerus bersikap demikian.[3]



C. Pengertian Pendidikan
1. Pendidikan Dalam islam
Pengertian pendidikan dalam bahasa (lughawy) yaitu berasal dari kata kerja rababa, dan untuk kata rabb yaitu sebutan bagi tuhan, raja atau yang di patuhi dan perbaikan dari kata tarbiyah merupakan pendidikan terambil dari arti yang ketiga yaitu perbaikan.
Definisi  tarbiyah (pendidikan) menurut istilah merupakan membina atau menciptakan insan muslim yang mempunyai akhlak baik dan sempurna dari segala aspek yang berbeda-beda, baik dari aspek kesehatan, akal, akidah, ruh keyakinan dan manajemen.
Makna yang sebenarnya dari pendidikan atau tarbiyah ialah merupai cara kerja seorang petani yang berusaha menghilangkan duri dan mengeluarkan tumbuhan-tumbuhan liar yang terdapat diantara tanaman-tanamannya. Agar tanaman yang ditanam tersebut dapat tumbuh dengan sempurna dan memberikan hasil yang terbaik.
2. Peranan Dalam Pendidikan
Para ulama mengatakan bahwa seorang anak merupakan amanat bagi kedua orang tuanya. Kalbu seorang anak yang baru dilahirkan masihlah suci seperti permata yang begitu polos, bebas dari segala macam pahatan dan gambaran serta siap untuk menerima setiap pahatan apapun dan selalu cenderung pada kebiasaan yang di berikan kepadanya.
Apabila dibiasakan untuk melakukan kebaikan, niscaya akan tumbuh menjadi orang yang lebih baik, dan kedua orang tuanya akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sebaliknya, apabila sang anak dibiasakan melakukan hal-hal yang buruk dan di telantarkan tanpa pendidikan dan pengajaran, niscaya akan menjadi seorang yang celaka dan binasa. Apabila sudah demikian kejadiannya, pihak yang patut dipersalahkan dalam hal ini adalah orang-orang yang diberikan tanggng jawab untuk mendidik dan mengajarinya, baik dia orang tua si anak ataupun walinya.
Terdapat banyak ayat-ayat dan hadits-hadits yang menerangkan mengenai kemuliaan pendidikan terhadap anak, diantaranya Firman Allah SWT yang artinya sebagai berikut:
“Wahai sekalian orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, yang kayu bakarnya terbuat darimanusia dan batu, didalamnya terdapat malaikat yang sangat keras dan bengismereka tidak mendurhakai Allah SWT terhadap apa yang sudah diperintahkan kepada mereka dan mereka melakukan apa yang sudah diperintahkan kepadanya.”
Imam Qatadah rahimahullah mengatakan:
“Mereka taat kepada Allah SWT, dan tidak berbuat maksiat kepada Allah SWT. Mereka melaksanakan perintah dan mereka memerintahkannya kemudian mereka menjauhi larangan-Nya.”


Ibnu Umar RA mengatakan:
“Didklah anak anda karena anda bertanggung jawab mengenai pendidikannya, didikan apa yang anda sudah berikan untuknya? Ajaran apa yang anda sudah berikan untuknya?”
3. Ciri-ciri Dalam Pendidikan
Mendidik dan mengajar anak bukanlah hal yang sangat mudah juga bukan pekerjaan yang dapat dilakukan secara sembarangan. Mendidik dan mengajar anak sama kedudukannya dengan kebutuhan pokok dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap muslim.
Bahkan mendidik dan mengajar seorang anak adalah tugas yang harus dan mesti dilakuakan oleh setiap orang tua, karena perintah mengenainya datang dari Allah SWT.
Seorang pendidik dan pembina yang sukses mempunyai sifat atau ciri-ciri yang apabila setiap dari sifat tersebut bertambah maka akan bertambah pula keberhasilan dalam mendidik anak-anak tentunya juga dengan taufik bantuan dari Allah SWT.
Seorang guru atau pembina bisa berasal dari seorang ayah, ibu, saudara, saudari, paman, bibi, kakek atau bibi dari pihak ibu dan sebagainya, hal tersebut tidak dimaksudkan seorang pembina atau pendidik hanya tertumpu pada seorang tertentu saja, namun akan setiap orang yang berada disekelilingnya juga harus ikut mengambil alih dalam mendidik dan membina anak-anak tersebut ke jalan yang benar.
Adapun sifat atau ciri-ciri seorang pendidik atau pembina sangat banyak yaitu sebagai berikut:
a. Amanah
Amanah (bertanggung jawab) ini mencakup seluruh perintah dan larangan yang di kandung oleh syari’at baik dalam hal ibadah ataupun interaksi.
Di antara tanda-tanda amanah yaitu seorang pendidik senantiasa menjaga untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang diperintahkan, dan juga memerintahkan anak-anak untuk melaksanakan hal tersebut, selalu konsisten dengan syari’at baik dari segi bentuk luar dan dalam, sehinga menjadi teladan di dalam keluarganya dan di dalam masyarakatnya. Berhias dengan sifat amanah, di dalah kehidupannya berakhlak mulia dan baik bagi kerabatnya ataupun kepada orang lain disetiap waktu dan tempat, akhlak seperti ini sumbernya yaitu senantiasa untuk menjaga sifat amanah dalam artian yang lebih luas.
b. Kuat
Hal ini adalah bersifat umum baik dari segi fisik, mental dan akal, kebanyakan orang tua sangat mudah mendidik anak-anak mereka di tahum-tahun pertama yaitu saat usia anak-anak mereka masih kanak-kanak, hal ini di pribadi anak-anak mereka.
Namun sedikit dari orang tua tersebut yang senantiasa jiwanya besar dan kuat dari anak-anak mereka saat mereka sudah tua. Sifat kuat ini sangat di perlukan oleh kedua orang tua atau yang berperan sebagai pembina atau pendidik.
c. Adil
Seorang pendidik haruslah mempunyai sifat yang adil, yaitu tidak membeda-bedakan anak, semua anak haruslah diperlakukan sama, dan hal ini di jelaskan oleh Allah SWT dalam Firman-Nya:
 $pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà­ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã žwr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)­G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ               
 “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, Menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwala kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maa’idah : 8)
Para pendidik akan menghadapi kondisi yang beragam berkenaan dengan anak-anak mereka, baik itu berupa pembagian tugas dan kewajiban. Apabila memang ada tugas-tugas tertentu yang memerlukan adanya kerja sama di antara anggota keluarga janganlah bersikap mengistimewakan sebagian dari yang lain, hendaknya seorang pendidik bersikap adil. Seorang pendidik janganlah membeda-bedakan seperti lebih mencintai salah seorang dari mereka. Baik karena kedekatan, lebih mengenal, ataupun karena sebab lainnya. Karena sikap seperti ini dapat dikategorikan sebagai sikap zhalim yang tidak diridhoi oleh Allah SWT.



[1] Abu Umar Basyier, “Mengapa Harus Bercerai”, (Surabaya: Shafa Publika, 2012), h. 92-93
[2]Ibid., h. 304-305
[3]Ibid.,h.100-204 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar