A.
Bagaimana Cara Menanamkan Aqidah
Salah satu hal
yang tidak mudah di jelaskan kepada anak adalah persoalan yang bersipat gaib. Hal
yang baik tidak apat di indra seperti hal-hal yang nyata. Orang Tua merasakan
kesulitan untuk menjelaskan agar bisa diterima oleh anak. Sementara aqidah Islam
yang terdiri dari Imam kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-Nya, para Rasul-Nya,
hari Kiamat, serta ketentuan dan takdir yang baik maupun yang buruk, seluruhnya
bersifat gaib.
Imam al-
Ghozali dalam kitany Ihya’, menawarkan metode penanaman akidah kepada
anak yang harus dilakukan sejak dini di usia balita. Ia mengatakan, “… Diawali
dengan menghafal, kemudian memahami,lalu diikuti dengan meyakini dan
membenarkannya…” Artinya, proses penanaman aqidah untuk anak harus dimulai dengan
talqin, mengajarkan sebuah ucapan. Kemudian dihafalkan sambil memahami
maknanya. Lalu meyakini kebenaran dari ucapan tersebut:
Ucapan apa yang
harus pertama kali di-talqin-kan kepada anak? Nabi SalAllahu A’laihi
Wassalam telah memberikan petunjuk kepada kita sebagaimana dalam riwayat hadist
berikut:
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda, “ajarkanlah kalimat pertama
kepada anak-anak kalian ‘Laa Ilahaa IlAllah,’ dan talqinkanlah ketika akan
meninggal dengan kalimat ‘Laa Ilaaha IllAllah,” (HR.Hakim)
Sesuai dengan
urutan enam rukun iman, bahwa menanamkan iman kepada Allah harus di dahulukan
dari yang lain. Iman kepada Allah merupakan landasan utama Aqidah seorang
Muslim. Jika Iman kepada Allah sudah tertanam kuat, maka yang lain juga pasti
akan mengikutinya.
Penanaman iman
kepada Allah tersimpul dalam sebuah kalimat tauhid, yaitu kalimat Laa Ilaha
IlAllah. Sebuah kalimat pendek yang namun maknanya sangat dalam. Kalimat
tauhid mengandung dua makna, yaitu makna nafsu (pengingkaran) dan makna itsbat
(penetapan). Kalimat tauhid mengingkari semua tuhan-tuhan yang diyakini
oleh kebanyakan manusia, dan menetapkan satu-satunya tuhan yang benar, yaitu Allah
Swt.
Selanjutnya,
untuk menguatkan kalimat ini dalam hati anak, Imam Al-Ghozali menambahkan
sarannya. Ia mengatakan,” … Untuk menguatkan kalimat Tauhid tersebut, bukan
dengan cara mengajarkan perdebatan dan ilmu kalam (cabang ilmu filsafat).
Tetapi, dengan cara menyibukan anak dengan membaca Al-Qur’an beserta beserta
tafsirnya, membaca hadist beserta artinya, dan menyibukannya dengan aktivitas
ibadah.”
Ibnu Khaldun
dalam kitab Muqadimmah, memberikan gambaran tentang bagaimana Orang Tua
muslim mendidik anak-anak mereka. Ia mengatakan, “Kedua Orang Tua mengajarkan
Al-Qur’an adalah termasuk syiar agama. Setiap pemeluk Agama Islam
menjalankannya di seluruh negri. Agar dapat meresap kedalam hati keimanan dan
aqidah yang murni disebabkan ayat-ayat al qur’an dan matan-matan hadist.
Al-Qur’an menjadi dasar pendidikan, adapun yang terbangun diatasnya adalah
segala kemampuan lainnya.”
Jadi, Al-Quran
menguatkan penanaman kalimat tauhid dalam diri anak. Dengan membaca dan
mempelajari Al-Quran, anak mengenal dan memahami dengan pemahaman yang benar
siapakah Allah? Terutama melalui surat-surat pendek yang terdapat pada Juz’Amma
(juz ke -30 ). Surat-surat pendek ini sangat cocok untuk anak-anak, Karena
hanya membutuhkan nafas yang pendek dan menjadi hafal. Tetapi, pengaruhnya
cukup besar dalam mempengaruhi jiwa anak yang masih bersih karena isinya lebih
menekan akidah.
Coba kita perhatikan beberapa ayat berikut ini:
“katakanlah, ‘Aku berlindung
kepada Tuhannya Manusia. Raja manusia. Sesembahan manusia.”(QS.An-Nas:1-3)
Ayat-ayat ini
menegenalkan pendidikan awal dengan kalimat-kalimat pendek yang mudah di hafal,
anak juga mudah memahami bahwa Allah adalah tuhan ysng menciptsksn manusia
beserta alam semesta. Dengan demikian, Allah sebagai raja yang menguasai
manusia. Karena itu, sudah seharusnya manusia beribadah hanya kepada Allah
semata bukan kepada selainnya.
Artinya
“katakanlah’ (Muhammad), “Dialah Allah, yang maha esa. Allah tempat meminta
sesuatu. Allah tidak beranak dan tidak di peranakan. Dan tidak ada sesuatu yang
setara dengan dia. (QS. Al-Ikhlas:1-4)
Dalam surat
ini, Allah mengenalkan dinya dan sifat-sifatnya. Anak mengenal nama tuhannya,
yaitu Allah. Anak akan semakin mengenal semankin banyak, bahwa Allah itu esa
dan tidak ada satupun di dunia ini yang menyerupainya. Yang lebih dahsyat lagi
dari ayat ini bahwa Allah tidak memiliki anak dan juga tidak dilahirkan. Hal
ini membantu keyakinan orang-orang Nasrani yang menganggap Isa sebagai anak Allah.
Berikut ini
coba kita simak sebuah kisah dari Iman Al-Ghozali, dalam kitab Ihya’,
tentang bagaimana Orang Tua menanamkan keimanan kepada Allah:
Sahl Abdillah
berkata: “Pada waktu aku berusia tiga tahun, aku terbangun di malam hari dan
aku melihat Muhammad Bin Siwar sedang salat. Suatu hari dia bertanya kepadaku,
“maukah kamu
berdzikir kepada Allah yang telah menciptakanmu? “aku bertanya, “Bagaimana cara
aku berdzikir kepada Allah? ” dia menjawab,? “ Ucapkanlah tiga kali dalam hati
tanpa menggerakan lidahmu, “Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah
menyaksikanku’.
Kemudian aku
memperaktikannya selama beberapa malam. Kemudan aku memberitahukannya. Dia
berkata,” Ucapkanlah stiap malam sebanyak sebelas kali.” Aku pun
memperaktikannya. Hatiku merasakan kenikmatan bacaan tersebut. Setelah berlalu
satu tahun, Pamanku berkata kepadaku,”hapalkanlah apa yang aku ajarkan dan
teruskanlah sampai kamu masuk kubur.
Aku selalu
memperhatikannya selam bertahun-tahun sehingga aku merasakan kenikmatan bacaan
tersebut dalam kesendiriankku. Kemudan pamanku berkata kepadaku,” Wahai Sahl,
barang siapa merasakan Allah bersamanya, Allah melihatnya, dan Allah
menyaksikannya, apakah dia akan bermaksiat kepada Allah? Jangan pernah berbuat
maksiat! “Aku pergi ke madrasah dan aku mengafal Al-Quran pada usia enam tahun
atau tujuh tahun. Kemudian akupun mampu berpuasa setahun penuh. Kekuatankku
hanya ada pada makanan roti dan gandum. Setelah itu, aku shalat malam setiap malam.”
1.
Menanamkan Tauhid dan Aqidah
Inilah yang pertama harus dilakukan
oleh Orang Tua terhadap anaknya; yaitu menanamkan keyakinan bahwa Allah itu
Maha Esa dan memiliki sifat-sifat yang mulia (Asmaul Husna). Hal ini pernah di
contohkan oleh Lukmannul Hakim dan di abadikan dalam Al-Qur’an:
“dan (ingatlah) ketika Lukmanul
Hakim berkata kepada anaknya, “Hai anakku janganlah kamu menyekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu adalah benar-benar kedzoliman yang
besar” (Qs. Lukman: 13).
Beriktu ini langkah langkah praktis
atau contoh-contoh ketika mananamkan Tauhid dan Aqidah terhadap Anak:
a.
Menanamkan
Tauhid ini bisa dimulai sejak anak dalam kandungan, yaitu dengan membiasakan
anak (bayi) mendengarkan alunan Ayat-ayat suci Al-Qur’an, ceramah-ceramah agama
kalimah-kalimah thoibiyah dan ucapan-ucapan yang sopan, santun serta lemah
lembut.
b.
Setelah
anak bisa bicara atau bercakap, ajarkanlah ia untuk bisa mengucapkan kata-kata
Allah Bismillah, Alhamdulillah, Astagfirullah, dan sebagainya.
c.
Tegurlah
dan berilah peringatan dengan segera apabila anak mengucapa kata-kata yang
tidak baik.
d.
Jelaskan
bahwa diri kita tumbuhan, hewan dan semua yang ada di dunia ini adalah ciptaan
serta kepunyaan Allah yang Maha kuasa.
e.
Sampaikanlah
kisah-kisah para nabi, rasul dan prang-orang yang saleh; baik secara lisan,
atau bisa juga berupa buku-buku kisah yang bergambar (banyak tersedia di
toko-toko buku), atau berupa VCD, jelaskanlah hikmah atau pelajaran yang bisa
diambil dari tiap kisah tersebut.
f.
Hindarkanlah
anak dari cerita-cerita dan tontonan (film/sinetron) takhayul, khufarat dan
bid’ah, misalnya cerita-cerita mengenai hantu, mistik, kesakitan, zodiac atau
ramalan binatang, dan sebagainnya.
g.
Bawalah
anak-anak ke tempat-tempat yang bisa memperkuat aqidah dan tauhid; misalnya ke
masjid, madrasah, atau tempat-tempat rekreasi yang kondusif seperti taman,
pegunungan, pantai, peneropongan bintang, museum, dan sejenisnnya. Beriah
penjelasan kepada anak misalnnya betapa kuasannya Allah menciptakan
tumbuhan-tumbuhan, binatang, gunung, lautan, bintang, matahari, bulan, dan
sebagainnya.
B.
Apa Yang dimaksud Pendidikan Usia Dini
Allah Swt membekali manusia dengan fitrah susila. Kemampuan manusia
diantaranya yaitu untuk mempertahankan diri dari sifat-sifat amoral atau
sifat-sifat yang menyalahi tujuan penciptannya. Fitrah ini menyalahi
sifat-sifat yang menyalahi kode etika yang telah di sepakati oleh masyarakat Islam.
Karena manusia yang menyalahi fitrah susilanya, akibatnya akan menjadi hina
(Qs. Al-Anfal [7]: 179). Itulah mengapa manusia mengalami perang batin pada
saat melakukan tindakan yang menyimpang atau keluar dari fitrah susilanya.
Roh yang sehat adalah yang selalu di suburkan keimanan dan
ketaqwaanya. Keimanan sendiri merupakan suatu perbuatan yang bukan hanya bentuk
keyakinan tetapi juga harus dilaksanan dalam perbuatan atau tindakan nyata.
Keimanan wajiblah di tampakan baik dalam ucapan, perbuatan, dan setiap geraknya
dalam pergaulan. Perbuatan atau tindakan seseorang dikatakan baik jika memenuhi
etika, moral, atau akhlak yang telah di tentukan.
Abdullah Nashih’ Ulwan (2012) menegaskan bahwa tidak di ragukan
lagi bahwa keluhuran akhlak, tingkah
laku, dan watak adalah buah-buah keimanan yang tertanam dalam menumbuhkan agama
yang benar. Jika seseorang anak pada masa kanak-kanaknya tumbuh di atas
keimanan kepada Allah, taat dan tunduk kepadanya, serta merasa diawasi maka
anak akan tumbuh menjadi anak yang baik dan memiliki sifat-sifat yang baik
(terpuji). Sedangkan anak yang tumbuh jauh dari aqidah Islam, maka anak-anak
akan tumbuh menjadi anak yang tidak terpuji, hidup dalam penyimpangan,
kesesatan, dan akan selalu mengikuti hawa nafsu yang selalu memerintahkan
kepada kejelekan sehingga membawa pada watak (perilaku) yang rendah.
Akhlak atau perilaku ada yang baik dan ada yang buruk. Ketika pendidik mendidik anaknya dengan baik,
anak seharusnya akan memilki akhlak yang baik. Smentara anak yang tidak di
didik dengan akhlak yang baik, tentu akan berpotensi memiliki akhlak yang
buruk. Mengapa demikian, ketika pendidik berusaha mengarahkan anak menjadi
orang yang baik dan benar, ini tentulah tidak mudah sebab pada setiap oang ada
potensi tidak hanya positif tetapi juga potensi negative yang sama besar
berpeluang untuk tumbuh dan berkembang.
Hasil pendidikan di pengaruhi oleh berbagai macam factor.
Perkembangan akhlak yang tidak hanya di pengaruhi oleh Orang Tua atau
pendidiknya saja tetapi juga di pengaruhi oleh orang sekitarnya (masyarakat,
teman sepermainan dan tontonan yang di lihatnya). Oleh karena itu ketika anak
di didik dengan baik oleh Orang Tua bisa saja ank berakhlak buruk karena
pengaruh lingkungan. Oleh karena itu, Orang Tua perlu mengawasi dengan ketat
dan penuh ketekunan serta kesabaran terutama dalam membina akhlak anak.
Zakiya Darajhat dalam bukunya membina nilai moral di Indonesia
(1971) menyatakan bahwa masalah akhlak adalah suatu masalah yang menjadi
perhatian orang di mana saja, baik dalam masyarakat yang telah maju maupun
dalam masyarakat yang masih terbelakang. Karena kerusakan akhlak seseorang
mengganggu ketentraman yang lain. Jika dalam satu masyarakat banyak oang yang
rusak akhlaknya maka akan guncanglah keadaan masyarakat tersebut. Oleh karena
itu, pendidikan karakter berupa akhlak atau moral yang baik perlu di galakkan
kembali apalagi di era globalisasi seperti sekarang ini. Akhlak yang di
contohkan Rasul, diantaranya adalah: sopan-santun, jujur, saling menghargai,
menghormati dan menyayangi sesame makhluk ciptanya.
Membentuk anak agar memiliki akhlak atau karakter yang baik
tidaklah semudah membalik tealapak tangan atau semudah orang yang melakukan
sulap. Pendidikan karakter harus di berikan sedini mungkin. Mulailah dari Keluarga
dan kemudian dapat di bantu dikembangkan di lembaga pendidikan pormal yang di
mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar.
Pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar merupakan tingkatan
pendidikan yang sangat krusial bagi seorang anak didik. Keberhasilan dalam
pendidikan dasar merupakan tonggak keberhasilan pada pendidikan selanjutnya.
Sebaliknya, kegagalan dalam pendidikan dasar akan berakibat terhadap penurunan
kualitas pada pendidikan selanjutnya. Hasil study Howard Gardner menemukan
bahwa kesalahan system pendidikan pada masa kecil dapat menurunkan kreativitas
seseorang. Bahkan, penurunan ini terus berlanjut sampai mereka mencapai usia 40
tahun (mengawasi, 2008).
Kesadaran terhadap pentingnya pendidikan dasar, diiringi dengan
mengembangkan system pendidikan dasar. Orientasi pendidikan dasar yang hanya
menitikberatkan kepada aspek kognitif, telah banyak di revitalisasi. Salah
satunya adalah jepang yang telah mngurangi jam pelajaran Matematika dan Ipa dengan
menggantinya untuk pengembangan karakter (Riane,2000). Pentingnnya system
pendidikan dasar yang di orientasikan pada pendidikan karakter di sebabkan
karena pada dasarnya kunci keberhasilan seseorang sangat tergantung kepada
karakter yang dimilikinya. Pendapat Goleman (1995) memperkuat pernyataan
tersebut, bahwa kecerdaan emosional (EQ) lebih penting dari pada kecerdasan
(IQ) bukan kecerdasan akal yang akan membuat orang sukses dan bahagia.
Karrakter atau akhlak mulialah yang dapat membawa manusia pada kesuksesan dan
kebahagiaan hidup.
Islam sangat memperhatikan maslah akhlak atau moral, hal ini sesuai
dengan misi Rasul untuk memperbaiki akhlak manusia atau akhlak manusia. Banyak
orang yang mengatakan tingkah laku dengan sebutan atau istilah akhlak, ada juga
yang menyebutkannya etika, moral, budi pekerti, dan sebagainya. Sebelum
menguraikan pendidikan akhlak seperti apa yang harus di tanamkan pendidik
kepada anak sejak usia dini, mari kita sedikit pahami terlebih dahulu apa
akhlak itu.
Dalam kamus peraktis bahasa Indonesia (2008), akhlak adalah budi
pekerti, etika, atau kesopanan. Selain itu juga secara umum padanan kata akhlak
sering disebut dengan istilah moral. Ada juga yang menyebut akhlak ini dengan
karakter, seperti dalam undang-undang pendidikan. Merujuk fungsi dan tujuan
pendidikan Nasional (UU No. 20 T ahun 2003, pasal 3), yaitu pendidikan Nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
dan bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka tujuan
pendidikan karakter pada intinya ialah untuk membentuk karakter peserta didik.
Karakter (akhlak) yang mulia dapat mewujudkan peradaban bangsa yang bermartabat
( UU No 19 Tahun 2005, pasal 4 ). Muhamad Nur Abdul Hafidz (1997) menguraikan
kata khuluk dalam kamus sihah berarti tabiat atau perangai. Kurtubi dalam
tafsirnya menjelaskan, “Khuluq dalam bahasa arab artinya adalah adab atau etika
yang menegndalikan seseorang dalam bersikap atau bertindak. ada pun tabiat atau
perangai yang memang sudah ada pada masing masing orang di sebut watak. Dari
keterangan ini dapat di simpulkan bahwa watak adalah sesuatu yang memang sudah
ada pada masing-masing orang, sedangkan akhlak adalah perangai atau sikap yang dapat
di bina dan di ciptakan dalam diri masing-masing individu. [2]
Dengan demikian, yang di perlukan anak adalah pembianaan akhlak.
Seperti yang telah di uraikan sebelumnya bahwa untuk mewujudkan sesorang dengan
akhlak yang baik ini tidaklah mudah. Perlu kerja keras dan kesabaran dari Orang
Tua sebagai pendidik pertama dan utama. Pembinaan akhlak yang berhasil pada
anak sejak usia dini akan menjadikannya memiliki watak yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar