Rabu, 23 November 2016

pengertian Penanaman Aqidah

A.    Bagaimana Cara Menanamkan Aqidah
Salah satu hal yang tidak mudah di jelaskan kepada anak adalah persoalan yang bersipat gaib. Hal yang baik tidak apat di indra seperti hal-hal yang nyata. Orang Tua merasakan kesulitan untuk menjelaskan agar bisa diterima oleh anak. Sementara aqidah Islam yang terdiri dari Imam kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Kiamat, serta ketentuan dan takdir yang baik maupun yang buruk, seluruhnya bersifat gaib.
Imam al- Ghozali dalam kitany Ihya’, menawarkan metode penanaman akidah kepada anak yang harus dilakukan sejak dini di usia balita. Ia mengatakan, “… Diawali dengan menghafal, kemudian memahami,lalu diikuti dengan meyakini dan membenarkannya…” Artinya, proses penanaman aqidah untuk anak harus dimulai dengan talqin, mengajarkan sebuah ucapan. Kemudian dihafalkan sambil memahami maknanya. Lalu meyakini kebenaran dari ucapan tersebut:
Ucapan apa yang harus pertama kali di-talqin-kan kepada anak? Nabi SalAllahu A’laihi Wassalam telah memberikan petunjuk kepada kita sebagaimana dalam riwayat hadist berikut:
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda, “ajarkanlah kalimat pertama kepada anak-anak kalian ‘Laa Ilahaa IlAllah,’ dan talqinkanlah ketika akan meninggal dengan kalimat ‘Laa Ilaaha IllAllah,” (HR.Hakim)
Sesuai dengan urutan enam rukun iman, bahwa menanamkan iman kepada Allah harus di dahulukan dari yang lain. Iman kepada Allah merupakan landasan utama Aqidah seorang Muslim. Jika Iman kepada Allah sudah tertanam kuat, maka yang lain juga pasti akan mengikutinya.
Penanaman iman kepada Allah tersimpul dalam sebuah kalimat tauhid, yaitu kalimat Laa Ilaha IlAllah. Sebuah kalimat pendek yang namun maknanya sangat dalam. Kalimat tauhid mengandung dua makna, yaitu makna nafsu (pengingkaran) dan makna itsbat (penetapan). Kalimat tauhid mengingkari semua tuhan-tuhan yang diyakini oleh kebanyakan manusia, dan menetapkan satu-satunya tuhan yang benar, yaitu Allah Swt.
Selanjutnya, untuk menguatkan kalimat ini dalam hati anak, Imam Al-Ghozali menambahkan sarannya. Ia mengatakan,” … Untuk menguatkan kalimat Tauhid tersebut, bukan dengan cara mengajarkan perdebatan dan ilmu kalam (cabang ilmu filsafat). Tetapi, dengan cara menyibukan anak dengan membaca Al-Qur’an beserta beserta tafsirnya, membaca hadist beserta artinya, dan menyibukannya dengan aktivitas ibadah.”
Ibnu Khaldun dalam kitab Muqadimmah, memberikan gambaran tentang bagaimana Orang Tua muslim mendidik anak-anak mereka. Ia mengatakan, “Kedua Orang Tua mengajarkan Al-Qur’an adalah termasuk syiar agama. Setiap pemeluk Agama Islam menjalankannya di seluruh negri. Agar dapat meresap kedalam hati keimanan dan aqidah yang murni disebabkan ayat-ayat al qur’an dan matan-matan hadist. Al-Qur’an menjadi dasar pendidikan, adapun yang terbangun diatasnya adalah segala kemampuan lainnya.”
Jadi, Al-Quran menguatkan penanaman kalimat tauhid dalam diri anak. Dengan membaca dan mempelajari Al-Quran, anak mengenal dan memahami dengan pemahaman yang benar siapakah Allah? Terutama melalui surat-surat pendek yang terdapat pada Juz’Amma (juz ke -30 ). Surat-surat pendek ini sangat cocok untuk anak-anak, Karena hanya membutuhkan nafas yang pendek dan menjadi hafal. Tetapi, pengaruhnya cukup besar dalam mempengaruhi jiwa anak yang masih bersih karena isinya lebih menekan akidah.
Coba kita perhatikan beberapa ayat berikut ini:
                  “katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhannya Manusia. Raja manusia. Sesembahan manusia.”(QS.An-Nas:1-3)
Ayat-ayat ini menegenalkan pendidikan awal dengan kalimat-kalimat pendek yang mudah di hafal, anak juga mudah memahami bahwa Allah adalah tuhan ysng menciptsksn manusia beserta alam semesta. Dengan demikian, Allah sebagai raja yang menguasai manusia. Karena itu, sudah seharusnya manusia beribadah hanya kepada Allah semata bukan kepada selainnya.
Artinya “katakanlah’ (Muhammad), “Dialah Allah, yang maha esa. Allah tempat meminta sesuatu. Allah tidak beranak dan tidak di peranakan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan dia. (QS. Al-Ikhlas:1-4)
Dalam surat ini, Allah mengenalkan dinya dan sifat-sifatnya. Anak mengenal nama tuhannya, yaitu Allah. Anak akan semakin mengenal semankin banyak, bahwa Allah itu esa dan tidak ada satupun di dunia ini yang menyerupainya. Yang lebih dahsyat lagi dari ayat ini bahwa Allah tidak memiliki anak dan juga tidak dilahirkan. Hal ini membantu keyakinan orang-orang Nasrani yang menganggap Isa sebagai anak Allah.
Berikut ini coba kita simak sebuah kisah dari Iman Al-Ghozali, dalam kitab Ihya’, tentang bagaimana Orang Tua menanamkan keimanan kepada Allah:
Sahl Abdillah berkata: “Pada waktu aku berusia tiga tahun, aku terbangun di malam hari dan aku melihat Muhammad Bin Siwar sedang salat. Suatu hari dia bertanya kepadaku,
“maukah kamu berdzikir kepada Allah yang telah menciptakanmu? “aku bertanya, “Bagaimana cara aku berdzikir kepada Allah? ” dia menjawab,? “ Ucapkanlah tiga kali dalam hati tanpa menggerakan lidahmu, “Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku’.
Kemudian aku memperaktikannya selama beberapa malam. Kemudan aku memberitahukannya. Dia berkata,” Ucapkanlah stiap malam sebanyak sebelas kali.” Aku pun memperaktikannya. Hatiku merasakan kenikmatan bacaan tersebut. Setelah berlalu satu tahun, Pamanku berkata kepadaku,”hapalkanlah apa yang aku ajarkan dan teruskanlah sampai kamu masuk kubur.
Aku selalu memperhatikannya selam bertahun-tahun sehingga aku merasakan kenikmatan bacaan tersebut dalam kesendiriankku. Kemudan pamanku berkata kepadaku,” Wahai Sahl, barang siapa merasakan Allah bersamanya, Allah melihatnya, dan Allah menyaksikannya, apakah dia akan bermaksiat kepada Allah? Jangan pernah berbuat maksiat! “Aku pergi ke madrasah dan aku mengafal Al-Quran pada usia enam tahun atau tujuh tahun. Kemudian akupun mampu berpuasa setahun penuh. Kekuatankku hanya ada pada makanan roti dan gandum. Setelah itu, aku shalat malam setiap malam.”
1.    Menanamkan Tauhid dan Aqidah
Inilah yang pertama harus dilakukan oleh Orang Tua terhadap anaknya; yaitu menanamkan keyakinan bahwa Allah itu Maha Esa dan memiliki sifat-sifat yang mulia (Asmaul Husna). Hal ini pernah di contohkan oleh Lukmannul Hakim dan di abadikan dalam Al-Qur’an:
“dan (ingatlah) ketika Lukmanul Hakim berkata kepada anaknya, “Hai anakku janganlah kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu adalah benar-benar kedzoliman yang besar” (Qs. Lukman: 13).
Beriktu ini langkah langkah praktis atau contoh-contoh ketika mananamkan Tauhid dan Aqidah terhadap Anak:
a.       Menanamkan Tauhid ini bisa dimulai sejak anak dalam kandungan, yaitu dengan membiasakan anak (bayi) mendengarkan alunan Ayat-ayat suci Al-Qur’an, ceramah-ceramah agama kalimah-kalimah thoibiyah dan ucapan-ucapan yang sopan, santun serta lemah lembut.
b.      Setelah anak bisa bicara atau bercakap, ajarkanlah ia untuk bisa mengucapkan kata-kata Allah Bismillah, Alhamdulillah, Astagfirullah, dan sebagainya.
c.       Tegurlah dan berilah peringatan dengan segera apabila anak mengucapa kata-kata yang tidak baik.
d.      Jelaskan bahwa diri kita tumbuhan, hewan dan semua yang ada di dunia ini adalah ciptaan serta kepunyaan Allah yang Maha kuasa.
e.       Sampaikanlah kisah-kisah para nabi, rasul dan prang-orang yang saleh; baik secara lisan, atau bisa juga berupa buku-buku kisah yang bergambar (banyak tersedia di toko-toko buku), atau berupa VCD, jelaskanlah hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dari tiap kisah tersebut.
f.       Hindarkanlah anak dari cerita-cerita dan tontonan (film/sinetron) takhayul, khufarat dan bid’ah, misalnya cerita-cerita mengenai hantu, mistik, kesakitan, zodiac atau ramalan binatang, dan sebagainnya.
g.      Bawalah anak-anak ke tempat-tempat yang bisa memperkuat aqidah dan tauhid; misalnya ke masjid, madrasah, atau tempat-tempat rekreasi yang kondusif seperti taman, pegunungan, pantai, peneropongan bintang, museum, dan sejenisnnya. Beriah penjelasan kepada anak misalnnya betapa kuasannya Allah menciptakan tumbuhan-tumbuhan, binatang, gunung, lautan, bintang, matahari, bulan, dan sebagainnya. 
B.     Apa Yang dimaksud Pendidikan Usia Dini
Allah Swt membekali manusia dengan fitrah susila. Kemampuan manusia diantaranya yaitu untuk mempertahankan diri dari sifat-sifat amoral atau sifat-sifat yang menyalahi tujuan penciptannya. Fitrah ini menyalahi sifat-sifat yang menyalahi kode etika yang telah di sepakati oleh masyarakat Islam. Karena manusia yang menyalahi fitrah susilanya, akibatnya akan menjadi hina (Qs. Al-Anfal [7]: 179). Itulah mengapa manusia mengalami perang batin pada saat melakukan tindakan yang menyimpang atau keluar dari fitrah susilanya.
Roh yang sehat adalah yang selalu di suburkan keimanan dan ketaqwaanya. Keimanan sendiri merupakan suatu perbuatan yang bukan hanya bentuk keyakinan tetapi juga harus dilaksanan dalam perbuatan atau tindakan nyata. Keimanan wajiblah di tampakan baik dalam ucapan, perbuatan, dan setiap geraknya dalam pergaulan. Perbuatan atau tindakan seseorang dikatakan baik jika memenuhi etika, moral, atau akhlak yang telah di tentukan.
Abdullah Nashih’ Ulwan (2012) menegaskan bahwa tidak di ragukan lagi bahwa keluhuran akhlak,  tingkah laku, dan watak adalah buah-buah keimanan yang tertanam dalam menumbuhkan agama yang benar. Jika seseorang anak pada masa kanak-kanaknya tumbuh di atas keimanan kepada Allah, taat dan tunduk kepadanya, serta merasa diawasi maka anak akan tumbuh menjadi anak yang baik dan memiliki sifat-sifat yang baik (terpuji). Sedangkan anak yang tumbuh jauh dari aqidah Islam, maka anak-anak akan tumbuh menjadi anak yang tidak terpuji, hidup dalam penyimpangan, kesesatan, dan akan selalu mengikuti hawa nafsu yang selalu memerintahkan kepada kejelekan sehingga membawa pada watak (perilaku) yang rendah.
Akhlak atau perilaku ada yang baik dan ada yang buruk.  Ketika pendidik mendidik anaknya dengan baik, anak seharusnya akan memilki akhlak yang baik. Smentara anak yang tidak di didik dengan akhlak yang baik, tentu akan berpotensi memiliki akhlak yang buruk. Mengapa demikian, ketika pendidik berusaha mengarahkan anak menjadi orang yang baik dan benar, ini tentulah tidak mudah sebab pada setiap oang ada potensi tidak hanya positif tetapi juga potensi negative yang sama besar berpeluang untuk tumbuh dan berkembang.
Hasil pendidikan di pengaruhi oleh berbagai macam factor. Perkembangan akhlak yang tidak hanya di pengaruhi oleh Orang Tua atau pendidiknya saja tetapi juga di pengaruhi oleh orang sekitarnya (masyarakat, teman sepermainan dan tontonan yang di lihatnya). Oleh karena itu ketika anak di didik dengan baik oleh Orang Tua bisa saja ank berakhlak buruk karena pengaruh lingkungan. Oleh karena itu, Orang Tua perlu mengawasi dengan ketat dan penuh ketekunan serta kesabaran terutama dalam membina akhlak anak.
Zakiya Darajhat dalam bukunya membina nilai moral di Indonesia (1971) menyatakan bahwa masalah akhlak adalah suatu masalah yang menjadi perhatian orang di mana saja, baik dalam masyarakat yang telah maju maupun dalam masyarakat yang masih terbelakang. Karena kerusakan akhlak seseorang mengganggu ketentraman yang lain. Jika dalam satu masyarakat banyak oang yang rusak akhlaknya maka akan guncanglah keadaan masyarakat tersebut. Oleh karena itu, pendidikan karakter berupa akhlak atau moral yang baik perlu di galakkan kembali apalagi di era globalisasi seperti sekarang ini. Akhlak yang di contohkan Rasul, diantaranya adalah: sopan-santun, jujur, saling menghargai, menghormati dan menyayangi sesame makhluk ciptanya.
Membentuk anak agar memiliki akhlak atau karakter yang baik tidaklah semudah membalik tealapak tangan atau semudah orang yang melakukan sulap. Pendidikan karakter harus di berikan sedini mungkin. Mulailah dari Keluarga dan kemudian dapat di bantu dikembangkan di lembaga pendidikan pormal yang di mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar.
Pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar merupakan tingkatan pendidikan yang sangat krusial bagi seorang anak didik. Keberhasilan dalam pendidikan dasar merupakan tonggak keberhasilan pada pendidikan selanjutnya. Sebaliknya, kegagalan dalam pendidikan dasar akan berakibat terhadap penurunan kualitas pada pendidikan selanjutnya. Hasil study Howard Gardner menemukan bahwa kesalahan system pendidikan pada masa kecil dapat menurunkan kreativitas seseorang. Bahkan, penurunan ini terus berlanjut sampai mereka mencapai usia 40 tahun (mengawasi, 2008).
Kesadaran terhadap pentingnya pendidikan dasar, diiringi dengan mengembangkan system pendidikan dasar. Orientasi pendidikan dasar yang hanya menitikberatkan kepada aspek kognitif, telah banyak di revitalisasi. Salah satunya adalah jepang yang telah mngurangi jam pelajaran Matematika dan Ipa dengan menggantinya untuk pengembangan karakter (Riane,2000). Pentingnnya system pendidikan dasar yang di orientasikan pada pendidikan karakter di sebabkan karena pada dasarnya kunci keberhasilan seseorang sangat tergantung kepada karakter yang dimilikinya. Pendapat Goleman (1995) memperkuat pernyataan tersebut, bahwa kecerdaan emosional (EQ) lebih penting dari pada kecerdasan (IQ) bukan kecerdasan akal yang akan membuat orang sukses dan bahagia. Karrakter atau akhlak mulialah yang dapat membawa manusia pada kesuksesan dan kebahagiaan hidup.
Islam sangat memperhatikan maslah akhlak atau moral, hal ini sesuai dengan misi Rasul untuk memperbaiki akhlak manusia atau akhlak manusia. Banyak orang yang mengatakan tingkah laku dengan sebutan atau istilah akhlak, ada juga yang menyebutkannya etika, moral, budi pekerti, dan sebagainya. Sebelum menguraikan pendidikan akhlak seperti apa yang harus di tanamkan pendidik kepada anak sejak usia dini, mari kita sedikit pahami terlebih dahulu apa akhlak itu.
Dalam kamus peraktis bahasa Indonesia (2008), akhlak adalah budi pekerti, etika, atau kesopanan. Selain itu juga secara umum padanan kata akhlak sering disebut dengan istilah moral. Ada juga yang menyebut akhlak ini dengan karakter, seperti dalam undang-undang pendidikan. Merujuk fungsi dan tujuan pendidikan Nasional (UU No. 20 T ahun 2003, pasal 3), yaitu pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dan bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka tujuan pendidikan karakter pada intinya ialah untuk membentuk karakter peserta didik. Karakter (akhlak) yang mulia dapat mewujudkan peradaban bangsa yang bermartabat ( UU No 19 Tahun 2005, pasal 4 ). Muhamad Nur Abdul Hafidz (1997) menguraikan kata khuluk dalam kamus sihah berarti tabiat atau perangai. Kurtubi dalam tafsirnya menjelaskan, “Khuluq dalam bahasa arab artinya adalah adab atau etika yang menegndalikan seseorang dalam bersikap atau bertindak. ada pun tabiat atau perangai yang memang sudah ada pada masing masing orang di sebut watak. Dari keterangan ini dapat di simpulkan bahwa watak adalah sesuatu yang memang sudah ada pada masing-masing orang, sedangkan akhlak adalah perangai atau sikap yang dapat di bina dan di ciptakan dalam diri masing-masing individu. [2]
Dengan demikian, yang di perlukan anak adalah pembianaan akhlak. Seperti yang telah di uraikan sebelumnya bahwa untuk mewujudkan sesorang dengan akhlak yang baik ini tidaklah mudah. Perlu kerja keras dan kesabaran dari Orang Tua sebagai pendidik pertama dan utama. Pembinaan akhlak yang berhasil pada anak sejak usia dini akan menjadikannya memiliki watak yang baik.






  






[1] Op Cit: 88-89
[2] Ibid hal : 92-95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar